Pesonamu tak kalah dengan berlian
keindahanmu masih bisa terbayang di lubuk hatiku
ingin rasanya kembali mengunjungimu
kapan dan kapan itu aku pun tak tahu
tapi kau sudah menyentuh hatiku
oh gunung kelud
semakin berkarya semakin mengetahui kemampuan kita, jangan putus asa, tingkatkanlah.
Senin, 25 Februari 2013
Asbabun Nuzul
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi
petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan
menegakan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada allah dan risalah
Nya. Juga memberitahukan hal yang telah berlalu, kejadian yang sekarang serta
berita yang akan dating.
Sebagian besar quran pada mulannya
diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hokum Allah atau
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui hokum Islam mengenai hal itu. Maka quran turun untuk peristiwa
khusus tadi atau unttuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang
dinamakan Asbabn Nuzul.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa Pengertian
Asbabun Nuzul?
2.
Apa saja hal-hal
yang melatar belakangi Asbabun Nuzul?
3.
Apa Urgensi Ilmu
Asbabun Nuzul?
4.
Bagaimana
Riwayat Asbabun Nuzul?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui pengertian
Asbabun Nuzul.
2.
Mengetahui
hal-hal yang melatarbelakangi Asbabun nuzul.
3.
Mengetahui
urgensi Ilmu Asbabun Nuzul.
4.
Mengetahui
Riwayat Asbabun Nuzul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ASBABUN NUZUL
Asbab adalah bentuk jama’ dari kata
sabab yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan: sebab, alasan, motif, latar
belakang, dan lain-lain. Jadi asbab nuzul adalah sebab-sebab turun,
alasan-alasan turun, motif atau latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an. Dari
definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
1.
Adanya peristiwa
atau pertanyaan yang mendahului turunnya ayat
2.
Adanya tindak
lanjut dari peristiwa itu.
3.
Adanya obyek
yang dituju.
4.
Adanya kaitan
yang erat antara peristiwa dengan materi ayat Al-Quran yang diturunkan.
5.
Terjadi pada
masa Rasulullah.
Kasus atau peristiwa yang mendahului
turunnya sesuatau ayat atau beberapa ayat hanya dapat diketahui melalui Rasul
sendiri atau sahabat yang selalu menyertai beliau pada saat itu. Atas dasar
itulah, maka yang dimaksud dengan ilmu asbab al-nuzul ialah ilmu yang dengannya
diketahui sebab turunnya sesuatu ayat atau beberapa ayat al-qur’an, yang hanya
dapat diperoleh melalui riwayat para sahabat, baik yang dialaminya secara
langsung bersama-sama dengan Rasulullah SAW sendiri atau yang diterimanya dari
sahabat lain yang menghadiri peristiwa yang menjadi sebab turunnya sesuatu ayat
atau beberapa ayat kepada Rasulullah SAW.
Bila diperhatikan dengan seksama, asbab
al-nuzul ayat-ayat alquran itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: segi bentuk
sebab turunnya ayat dan jumlah sebab dan ayat yang turun. Dari segi bentuknya
dapat dibagi dua yaitu: berbentuk peristiwa dan pertanyaan. Dari segi sebab dan
ayat yang turun dapat dibagi dua yaitu: Ta’addud al-sabab wa al-nazil
wahid(sebab turun ayat lebih dan satu dan inti persoalan yang terkandung dalam
ayat itu atau sekelompok ayat yang turun itu adalah satu juga) dan Ta’adud
al-nazil wa al-sabab wahid(inti yang terkandung dalam ayat yang diturunkan
lebih dari satu sedang sebab turunnya satu)
B.
HAL-HAL
YANG MELATARBELAKANGI ASBABUN NUZUL
Setelah diselidiki, sebab turunnya suatu
ayat itu berkisar pada dua hal:
1.
Bila tejadi
suatu peristiwa, maka turunlah ayat al quran mengenal peristiwa itu.
Hal
itu seperti diriwayatkan dari ibn abas, yang mengatakan: ketika turun:![](file:///C:/Users/ACER/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![](file:///C:/Users/ACER/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
“Dan
peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat”,as-syu’ara’ [26]:214.
Nabi
pergi dan naik ke bukit Safa, lalu berseru: Wahai kaum ku! Maka mereka
berkumpul ke dekat nabi. Ia berkata lagi:”bagaimana pendapatmu bila aku
beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak
menyerangmu;percayakah kamu apa yang aku katakana? Mereka menjawab:kami belum
pernah lihat engkau berdusta. Dan nabi melanjutkan: aku memperingati kamuu
tentang siksa yang pedih. Ketika itu abu lahab berkata: celakalah engkau;
apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?” lalu ia berdiri. Maka
turunlah surah ini Celakalah kedua tangan abu lahab.
2.
Bila rasulullah
ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat quran menerangkan hukumnya.
Hal
itu seperti ketika khaulah binti Sa’labah dikenakan Zihar oleh suaminya, Aus
Bin Samit. Lalu ia dating kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata:
maha suci Allah yang pendengaranNya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan
Khaulah Sa’labah itu, sekalipun tidak
seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya:
‘Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku
mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi,
ia menjatuhkan Zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu
kepadaMu.”Aisyah berkata:”tiba-tiba malaikat jibril turun membawa ayat-ayat
ini: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu
kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit.”(HR.Bhukari, Muslim dan
yang lain)
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa
setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al
quran diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu
pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat al quran yang diturunkann sebagai
permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam, dan syariat
Allah dalam kehidupan pribadi dan social.
C.
URGENSI
ILMU ASBABUN NUZUL
Pengetahuan
mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak Urgensi, yang terpenting diantaranya:
1.
Mengetahui hikmah
diundangkannya suatu hokum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam
menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
2.
Mengkhususkan
atau membatasi hokum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hokum itu
dinyatakan dalam bentuk umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini firman
Allah: Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka
terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.(ali imran:188)
3.
Apabila lafal
yang diturunkan itu lafal umum dan terdapat dalil atas pengkhususan, maka
pengetahuan mengetahuai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap
yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan karena
masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat’i(pasti). Maka
ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad bersifat
zanni(dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang
demikian dalam firmanNya:Sesungguhnya orang-orang yang
menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka
kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di
hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya,
dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala
sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).an-nur[24]:23-25
4.
Mengetahui sebab
nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna quran dan menyingkap kesamaran
yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui
sebab nuzulnya. Contohnya antara lain,
5.
Sebab Nuzul
dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut
tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
Seperti disebutkan dalam firman Allah:
Dan orang yang berkata kepada dua
orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya
memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah
berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya
janji Allah adalah benar." Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah
dongengan orang-orang dahulu belaka."(al-ahqaf :17)
D.
BEBERAPA
RIWAYAT ASBABUN NUZUL
Terkadang
terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan
demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.
Apabila
bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “ayat ini turun
mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara
riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu
termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab
nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa
maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2.
Apabila salah
satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai
urusan ini” sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang
berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang
menyebutkan sebab nuzul secara tegas dan riwayat yang lain dipandang termasuk
di dalam hukum ayat.
3.
Apabila riwayat
itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat
diantaranya itu sahih.
4.
Apabila
riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah
satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari
riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang
didahulukan.
5.
Apabila
riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah
terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu
berdekatan.
6.
Bila
riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara
sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau
dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Pengertian
Asbabun Nuzul.
Jadi
asbab nuzul adalah sebab-sebab turun, alasan-alasan turun, motif atau latar
belakang turunnya ayat Al-Qur’an.
2.
Hal-Hal
Yang Melatarbelakangi Asbabun Nuzul.
a)
Bila tejadi
suatu peristiwa, maka turunlah ayat al quran mengenal peristiwa itu.
b)
Bila rasulullah
ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat quran menerangkan hukumnya.
3.
Urgensi
Ilmu Asbabun Nuzul.
a)
Mengetahui
hikmah diundangkannya suatu hokum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan
umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
b)
Mengkhususkan
atau membatasi hokum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hokum itu
dinyatakan dalam bentuk umum.
c)
Apabila lafal
yang diturunkan itu lafal umum dan terdapat dalil atas pengkhususan, maka
pengetahuan mengetahuai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap
yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan karena
masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat’i(pasti). Maka
ia tidak boleh dikeluarkan melalui Ijtihad, karena Ijtihad bersifat Zanni.
d)
Mengetahui sebab
nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna quran dan menyingkap kesamaran
yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui
sebab nuzulnya.
e)
Sebab Nuzul
dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut
tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.
4.
Riwayat
Asbabun Nuzul.
a)
Apabila
bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “ayat ini turun
mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara
riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu
termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab
nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa
maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
b)
Apabila salah
satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai
urusan ini” sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang
berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang
menyebutkan sebab nuzul secara tegas dan riwayat yang lain dipandang termasuk
di dalam hukum ayat.
c)
Apabila riwayat
itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat
diantaranya itu sahih.
d)
Apabila
riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah
satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari
riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang
didahulukan.
e)
Apabila
riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah
terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu
berdekatan.
f)
Bila
riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara
sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau
dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul.
DAFTAR
PUSTAKA
Manna’,Khalil
al-qattan.1973.Study Ilmu-Ilmu Qur’an.Bogor:Litera Antar Nusa
Hadits Shahih, Hasan dan Dla'if
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Agama islam adalah agama yang
mampu mengakomodir segenap peran rasa dan rasio secara proporsional, terbukti
dari beberapa pembahasan-pembahasan tentang ajaranya mampu melibatkan kedua
anugerah agung ini, salah satu contoh mungkin dalam ilmu fiqh dan ushul,
kolaborasi antara keimanan dan pemikiran menjadi landasan utama dalam
menelorkan rumusan hukum-hukumnya, Semua paparan di atas tentunya tidak
terlepas dari pengaruh dua pegangan suci umat islam, yaitu alqur’an dan hadits.
Pemahaman tentang panilaian
terhadap status hadits menjadi sebuah hal yang sangat penting saat ini untuk
menyehatkan kembali pembahasan-pembahasan tentang masalah keagamaan, sehinga
peluang manipulasi agama bisa terdeteksi sejak awal. Berpijak dari
konsep tersebut obyek kualitas mencakup keadaan rawi, sanad dan matannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Shahih?
2.
Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Hasan?
3.
Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Dla’if?
4.
Bagaimana pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih
dan ghaiy ma’mul bih?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahu pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Shahih.
2.
Mengetahui pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Hasan.
3.
Mengetahui pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab
dari hadits Dla’if.
4.
Mengetahui pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih
dan ghaiy ma’mul bih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Shahih
1.
Pengertian
Ta’rif shahih
menurut lughat adalah lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan
bathil. Menurut Muhaditsin Hadits Shahih adalah:
“hadits yang
dinulilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yanbg adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal”
Menurut ta’rif
diatas, maka suatu hadits dinilai sahih apabila memenuhi syarat:
a)
Rawinya bersifat adil
Menurut al-razzi
keadilan ialah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi
dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang menodai wuru’ah, seperti makan sambil berdiri di
jalan, buang air atau kencing di tempat yang bukan disediakan untuknya dan
bergurau yang berlebih-lebihan.
b)
Rawinya sempurna ingatan atau
dhabit
Yang dimaksud
dengan dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatnya, ingatnya lebih
banyak daripada kesalahannya.
c)
Sanadnya bersambung, matannya
marfu’
Musnad yaitu
mutashilnya sanad dan marfu’nya matan. Dan yang dimaksud dengan mutashil atau
bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tap
rawi saling bertemu dan menerima langsung dari gueu yang memberinya
(mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.
d)
Tanpa ilat
‘Illat hadis
ialah suatu penyakit yang samara-samar yang dapat menodai keshahihan hadis,
misalnya: meriwayatkan hadis secara mutashil terhadap hadits mursal atau hadits
munqathi, atau berupa sisipan yang terdapat matan hadis.
e)
Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan
hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang mawbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan dengan
kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[1]
2.
Pembagian Hadits Shahih
Hadits Shahih
dibagi menjadi dua bagian:
Pertama:
Shahih Lidzatihi, yaitu: Hadits yang melengkapi setinggi-tingginya sifat yang harus
diterima.
Kedua: Shahih
Lighairihi, yaitu: Hadits yang tidak penuh padanya setinggi tinggi sifat yang
harus diterima.
Misalnya: ada
hadis yang perawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, jika hadis ini
dibantu dengan jalan lain yang menguatkannya, menjadilah dia shahih lighairihi.
3.
Status Kehujjahan
Menurut ijma’nya
para ahli hadits dan para ushu liyin serta para fuqoha, hokum hadits shahih itu
wajib diamalkan, karena hadis shahih itu adalah salah satu hujjah dari beberapa
hujjah syara’, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.[2]
4.
Macam-macam Kitab
a)
Kitab Shahih AL-Bukhari, kuran
lebih memuat 7.257 hadits dengan adanya pengalangan.
b)
Hadits shahih Muslim, memuat
sekitar 12.000 hadits dengan pengulangan atau 4000 hadits tanpa diulang-ulang.
c)
Shahih ibnu Khuzaimah. Termasuk
kitab yang derajatnya lebih tinggi karena ibnu Khuzaimah sangat hati-hati dalam
mentashih hadits.
d)
Hadits Ibnu Hibban termasuk dalam
golongan mustasahil dalam mentashhihkan suatu hadits.
e)
Mustadrak al-hakim. Yaitu kitab
yang memuat hadits Shahih dengan syarat Bukhari Muslim atau salah satunya
disampaikan pula hadits Shahih menurut al-hakim sendiri.[3]
B.
Hadits Hasan
1.
Pengertian
Hadits Hasan
ialah hadis yang padanya telah terpenuhi syarat-syarat hadis shahih kesemuanya,
hanya saja para perawinya semua atau sebagian para perawinya kurang dhabit dari
pada perwi-perawi hadits shahih.[4]
2.
Pembagian Hadits Hasan
Pertama:
Hasan Lidhatihi yaitu yang telah kita sebutkan di atas, dinamakan (hasan
Lidhatihi) karena kehasanannya tumbuh dari terpenuhinya syarat-syarat yang
khusus padanya, bukan hasil (natiyah) sesuatu yang ada diluarnya.
Kedua:
Hasan Lighairihi ialah hadis yang didalam sanadnya perawi yang mastur yaitu
tidak nyata keahliannya, hanya saja dia bukan pelupa yang banyak kekeliruannya
dalam periwayatannya, dan juga tidak dituduh berbuat dusta dalam
meriwayatkannya hadis serta tidak tertuduh dengan sebab-sebab lain yang
menjadikan fasik, bahwa dia dibantu oleh perawi lain yang mu’tabar yang terdiri
dari mutabi’ atau syahid.[5]
3.
Status Kehujjahan
Berhujah dengan
hadits hasan dengan segala macamnya adalah seperti berhujjah dengan hadits
Shahih, meskipun hadits hasan itu kekuatannya dibawah hadits shahih.
Oleh karena itu
semua fuqoha berhujjah dengan hadits dan mau mengamalkannya. Demikian pula
sebagian ulama memasukan hadits hasan itu kedalam golongan Hadits Shahih,
diantara para ulama yang berpendapat seperti itu misalnya al-hakim, ibnu Hibban
dan Ibnu Khuzaimah serta menurut pengakuan mereka bahwasannya hadits hasan itu
kekuatannya di bawah hadits shahih, dengan dalil mentarjihkan yang shahih atas
yang hasan ketika terjadinya ta’arudh (pertentangan).[6]
4.
Kitab-kitab Hadits Hasan
a)
Sunan al-Tirmidziy
b)
Sunan Abi Daawud
c)
Sunan Ad-Daruquthniy[7]
C.
Hadits Dla’if
1.
Pengertian
Ta’rif hadits
dha’if, menurut lughat adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Ta’rif
menurut istilah muhaditsin:”Hadits yang tidak sampai pada derajat hasan”
maksudnya hadits tersebut tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau
sifat-sifat hadits hasan. Dan bisa diartikan hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
2.
Pembagian Hadits Dla’if
Hadits dha’if
bermacam-macam dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah
keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad
atau matan.
a)
Dari segi Rawi, terdapat kecacatan
para rawi, baik mengenai keadilannya maupun mengenai kedhabitannya;
·
Hadis Maudhu’ adalah hadits
dhaif yang karena rawinya berdusta dalm membuat hadits walaupun hanya sekali
dalam seumur hidup.
·
Hadits Matruk adalah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang tertuduh bedusta.
·
Hadits Munkar adalah hadits
yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah.
·
Hadits Mu’allal yaitu
hadits yang setelah diadakn penelitian dan penyelidikan, tempat adanya salah
sangka dari rawinya, dengan mewahamkan (menganggap bersambung suatu sanad)
hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukan sebuah hadits pada suatu hadits
yang lain, atau yang semisal dengan itu.
·
Hadits Mudraj yaitu hadits
yang disadurkan dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran
itu termasuk hadits.
·
Hadits Syadz yaitu
menyalahi riwayat orang yang lebih rajah.
·
Hadits mukhtalith yaitu
hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa
bahaya, terbakar atau hilang kitabnya.
b)
Dari segi Sanad
Suatu
hadits menjadi dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung, rawi murid
tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada
sanad.
·
Hadits Mu’allaf adalah hadits
yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
·
Hadits mursal hadits yang
gugur dari akhir sanadnya seseorang setelah tabi’in.
·
Hadits mu’dal yaitu hadits
yang gugur rawinya dua atau lebih berturut-turut.
·
Hadits munqathi adalah
gugur seorang rawi atau lebih tapi tidak berturut-turut.
c)
Dari segi Matan
Penisbatan matan tidak pada Nabi Muhammad SAW.
·
Penisbatan matan kepada
sahabat, disebut mauquf.
·
Penisbatan matan kepada
tabi’in, disebut maqthu’.[8]
3.
Status Kehujjahan Hadits
Dla’if
Ulama berbeda
pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if, tiga hal pandapatnya yaitu:
a)
Tidak bisa diamalkan sama sekali
baik dalam amalan fadlilah maupun dalam hokum syar’i. Pendapat ini di anut Abu
Bakar.
b)
Bisa diamalkan secara mutlah.
Pendapat ini dianut oleh abu dawud dan imam Ahmad.
c)
Bisa diamalkan jika hadits itu
menerangkan Fadlilah amal.[9]
4.
Kitab-kitab
Sejauh ini tidak
ada satupun kitab yang khusus membahas hadits Dla’if. Yang ada adalah
kitab-kitab yang secara terpisah membahas sebagian jenis hadits dla’if,
misalnya:karangan Abu Dawud, Karangan Ibn Abi Halim, Karangan Al-Khatib al
Baghdadiy,Karangan al-Jauziy dll.
D.
Bagian Hadits Ahad dari
Segi Maqbul dan Mardud
Pada bagian diatas sudah dijelaskan
Hadits ada yang Shahih dan ada yang dla’if, kembalilah mereka membagi hadits
Ahad itu mengingat shahih tidaknya, kepada 2 bagian besar, yaitu: maqbul dan
mardud.
1.
Hadits Maqbul dan
Bagian-bagiannya
Maqbul pada lughat, ialah:
“ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”. Segala
hadits maqbul itu, wajib diterims. Demikian pendapat jumhur ulama. Dan hadits
maqbul itu trdiri dari: hadits shahih dan hadits hasan.
Kemudian dari pada itu, harus pula
kita ketahui, bahwa hadits maqbul itu dibagi lagi kepada dua:
a)
Ma’mul bihi (yang diamalkan)
dipergunakan untuk menegakan suatu hokum.
Hadits-hadits yang diamalkan,
ialah:
·
Segala hadits Muhkam.
·
Segala Hadits Mukhatalif
yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.
·
Segala hadits yang Nasikh.
·
Segala Hadits yang Rajih.
b)
Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak
diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hokum
syara’. Ialah:
·
Hadits Mutawaqqaf fihi
(Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tak
dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian).
·
Hadits Marjuh (Hadits yang
dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
·
Hadits Mansukh (Hadits yang
telah dihapuskan hukumnya).[10]
2.
Hadits Mardud
Ta’rif Hadits Mardud. Mardud pada
lughat, ialah: “yang ditolak, yang tidak diterima”. Yaitu hadits Dla’if.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits
Shahih
hadits yang
dinulilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yanbg adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal.
Hadits Shahih
dibagi menjadi dua bagian:
Pertama:
Shahih Lidzatihi, yaitu: Hadits yang melengkapi setinggi-tingginya sifat yang
harus diterima.
Kedua: Shahih
Lighairihi, yaitu: Hadits yang tidak penuh padanya setinggi tinggi sifat yang
harus diterima.
Menurut ijma’nya
para ahli hadits dan para ushu liyin serta para fuqoha, hokum hadits shahih itu
wajib diamalkan, karena hadis shahih itu adalah salah satu hujjah dari beberapa
hujjah syara’, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.
Kitab Shahih
AL-Bukhari, kuran lebih memuat 7.257 hadits dengan adanya pengalangan. Hadits
shahih Muslim, memuat sekitar 12.000 hadits dengan pengulangan atau 4000 hadits
tanpa diulang-ulang. Shahih ibnu Khuzaimah. Termasuk kitab yang derajatnya
lebih tinggi karena ibnu Khuzaimah sangat hati-hati dalam mentashih hadits.
Hadits Ibnu Hibban termasuk dalam golongan mustasahil dalam mentashhihkan suatu
hadits. Mustadrak al-hakim. Yaitu kitab yang memuat hadits Shahih dengan syarat
Bukhari Muslim atau salah satunya disampaikan pula hadits Shahih menurut
al-hakim sendiri
2.
Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits
Hasan
Hadits Hasan
ialah hadis yang padanya telah terpenuhi syarat-syarat hadis shahih kesemuanya,
hanya saja para perawinya semua atau sebagian para perawinya kurang dhabit dari
pada perwi-perawi hadits shahih.[11]
Pembagian
Hadits Hasan
Pertama:
Hasan Lidhatihi yaitu yang telah kita sebutkan di atas, dinamakan (hasan
Lidhatihi) karena kehasanannya tumbuh dari terpenuhinya syarat-syarat yang
khusus padanya, bukan hasil (natiyah) sesuatu yang ada diluarnya.
Kedua:
Hasan Lighairihi ialah hadis yang didalam sanadnya perawi yang mastur yaitu
tidak nyata keahliannya, hanya saja dia bukan pelupa yang banyak kekeliruannya
dalam periwayatannya, dan juga tidak dituduh berbuat dusta dalam
meriwayatkannya hadis serta tidak tertuduh dengan sebab-sebab lain yang
menjadikan fasik, bahwa dia dibantu oleh perawi lain yang mu’tabar yang terdiri
dari mutabi’ atau syahid.[12]
Status
Kehujjahan
Berhujah dengan
hadits hasan dengan segala macamnya adalah seperti berhujjah dengan hadits
Shahih, meskipun hadits hasan itu kekuatannya dibawah hadits shahih.
Oleh karena itu
semua fuqoha berhujjah dengan hadits dan mau mengamalkannya. Demikian pula
sebagian ulama memasukan hadits hasan itu kedalam golongan Hadits Shahih,
diantara para ulama yang berpendapat seperti itu misalnya al-hakim, ibnu Hibban
dan Ibnu Khuzaimah serta menurut pengakuan mereka bahwasannya hadits hasan itu
kekuatannya di bawah hadits shahih, dengan dalil mentarjihkan yang shahih atas
yang hasan ketika terjadinya ta’arudh (pertentangan).[13]
Kitab-kitab
Hadits Hasan
Sunan
al-Tirmidziy,Sunan Abi Daawud dan Sunan Ad-Daruquthniy
3.
Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits
Dla’if
Ta’rif hadits
dha’if, menurut lughat adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Ta’rif
menurut istilah muhaditsin:”Hadits yang tidak sampai pada derajat hasan”
maksudnya hadits tersebut tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau
sifat-sifat hadits hasan. Dan bisa diartikan hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
Pembagian
Hadits Dla’if
Hadits dha’if
bermacam-macam dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah
keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad
atau matan.
4.
Status Kehujjahan Hadits
Dla’if
Ulama berbeda
pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if, tiga hal pandapatnya yaitu:
·
Tidak bisa diamalkan sama
sekali baik dalam amalan fadlilah maupun dalam hokum syar’i. Pendapat ini di
anut Abu Bakar.
·
Bisa diamalkan secara
mutlah. Pendapat ini dianut oleh abu dawud dan imam Ahmad.
·
Bisa diamalkan jika hadits
itu menerangkan Fadlilah amal.[14]
Kitab-kitab
Sejauh ini tidak
ada satupun kitab yang khusus membahas hadits Dla’if. Yang ada adalah
kitab-kitab yang secara terpisah membahas sebagian jenis hadits dla’if,
misalnya:karangan Abu Dawud, Karangan Ibn Abi Halim, Karangan Al-Khatib al
Baghdadiy,Karangan al-Jauziy dll.
4.
Pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih dan ghaiy
ma’mul bih
Maqbul pada lughat, ialah:
“ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”. Segala
hadits maqbul itu, wajib diterims. Demikian pendapat jumhur ulama. Dan hadits
maqbul itu trdiri dari: hadits shahih dan hadits hasan.
Kemudian dari pada itu, harus pula
kita ketahui, bahwa hadits maqbul itu dibagi lagi kepada dua:
c)
Ma’mul bihi (yang diamalkan)
dipergunakan untuk menegakan suatu hokum.
Hadits-hadits yang diamalkan,
ialah:
·
Segala hadits Muhkam.
·
Segala Hadits Mukhatalif
yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.
·
Segala hadits yang Nasikh.
·
Segala Hadits yang Rajih.
d)
Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak
diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hokum
syara’. Ialah:
·
Hadits Mutawaqqaf fihi
(Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tak
dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian).
·
Hadits Marjuh (Hadits yang
dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
·
Hadits Mansukh (Hadits yang
telah dihapuskan hukumnya).[15]
Hadits Mardud
Ta’rif Hadits Mardud. Mardud pada
lughat, ialah: “yang ditolak, yang tidak diterima”. Yaitu hadits Dla’if.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,M,Hasbi.1958.Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan Bintang.
Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV
Mimbar Pustaka.
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat
Ulumul Hadits.Tulungagung:STAIN Tulungagung.
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.Tulungagung
[1]
Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV Mimbar Pustaka,hlm.132-134
[2]
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.146
[3]
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.71
[4]
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.161-162
[5]
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.163
[6] Ibid.164
[7]
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.79
[8]
Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV Mimbar Pustaka,hlm.135-142
[9]
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.83
[10]
Ash-Shiddieqy,M,Hasbi,1958,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan
Bintang.hlm.107
[11]
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.161-162
[12]
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.163
[13]
Ibid.164
[14]
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.83
[15]
Ash-Shiddieqy,M,Hasbi,1958,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan
Bintang.hlm.107
Langganan:
Postingan (Atom)