Senin, 25 Februari 2013

Gunung Kelud

Pesonamu tak kalah dengan berlian
keindahanmu masih bisa terbayang di lubuk hatiku
ingin rasanya kembali mengunjungimu
kapan dan kapan itu aku pun tak tahu
tapi kau sudah menyentuh hatiku
oh gunung kelud

Asbabun Nuzul


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada allah dan risalah Nya. Juga memberitahukan hal yang telah berlalu, kejadian yang sekarang serta berita yang akan dating.
Sebagian besar quran pada mulannya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hokum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hokum Islam mengenai hal itu. Maka quran turun untuk peristiwa khusus tadi atau unttuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabn Nuzul.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Asbabun Nuzul?
2.      Apa saja hal-hal yang melatar belakangi Asbabun Nuzul?
3.      Apa Urgensi Ilmu Asbabun Nuzul?
4.      Bagaimana Riwayat Asbabun Nuzul?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian Asbabun Nuzul.
2.      Mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi Asbabun nuzul.
3.      Mengetahui urgensi Ilmu Asbabun Nuzul.
4.      Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN ASBABUN NUZUL
Asbab adalah bentuk jama’ dari kata sabab yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang, dan lain-lain. Jadi asbab nuzul adalah sebab-sebab turun, alasan-alasan turun, motif atau latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:
1.      Adanya peristiwa atau pertanyaan yang mendahului turunnya ayat
2.      Adanya tindak lanjut dari peristiwa itu.
3.      Adanya obyek yang dituju.
4.      Adanya kaitan yang erat antara peristiwa dengan materi ayat Al-Quran yang diturunkan.
5.      Terjadi pada masa Rasulullah.
Kasus atau peristiwa yang mendahului turunnya sesuatau ayat atau beberapa ayat hanya dapat diketahui melalui Rasul sendiri atau sahabat yang selalu menyertai beliau pada saat itu. Atas dasar itulah, maka yang dimaksud dengan ilmu asbab al-nuzul ialah ilmu yang dengannya diketahui sebab turunnya sesuatu ayat atau beberapa ayat al-qur’an, yang hanya dapat diperoleh melalui riwayat para sahabat, baik yang dialaminya secara langsung bersama-sama dengan Rasulullah SAW sendiri atau yang diterimanya dari sahabat lain yang menghadiri peristiwa yang menjadi sebab turunnya sesuatu ayat atau beberapa ayat kepada Rasulullah SAW.
Bila diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat-ayat alquran itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: segi bentuk sebab turunnya ayat dan jumlah sebab dan ayat yang turun. Dari segi bentuknya dapat dibagi dua yaitu: berbentuk peristiwa dan pertanyaan. Dari segi sebab dan ayat yang turun dapat dibagi dua yaitu: Ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid(sebab turun ayat lebih dan satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat itu atau sekelompok ayat yang turun itu adalah satu juga) dan Ta’adud al-nazil wa al-sabab wahid(inti yang terkandung dalam ayat yang diturunkan lebih dari satu sedang sebab turunnya satu)

B.     HAL-HAL YANG MELATARBELAKANGI ASBABUN NUZUL
Setelah diselidiki, sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1.      Bila tejadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al quran mengenal peristiwa itu.
Hal itu seperti diriwayatkan dari ibn abas, yang mengatakan: ketika turun:
“Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat”,as-syu’ara’ [26]:214.
Nabi pergi dan naik ke bukit Safa, lalu berseru: Wahai kaum ku! Maka mereka berkumpul ke dekat nabi. Ia berkata lagi:”bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu;percayakah kamu apa yang aku katakana? Mereka menjawab:kami belum pernah lihat engkau berdusta. Dan nabi melanjutkan: aku memperingati kamuu tentang siksa yang pedih. Ketika itu abu lahab berkata: celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?” lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini Celakalah kedua tangan abu lahab.
2.      Bila rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat quran menerangkan hukumnya.
Hal itu seperti ketika khaulah binti Sa’labah dikenakan Zihar oleh suaminya, Aus Bin Samit. Lalu ia dating kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata: maha suci Allah yang pendengaranNya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah Sa’labah itu, sekalipun tidak  seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: ‘Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan Zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadaMu.”Aisyah berkata:”tiba-tiba malaikat jibril turun membawa ayat-ayat ini: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit.”(HR.Bhukari, Muslim dan yang lain)
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al quran diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat al quran yang diturunkann sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam, dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan social.

C.    URGENSI ILMU ASBABUN NUZUL
Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak Urgensi, yang terpenting diantaranya:
1.      Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hokum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
2.      Mengkhususkan atau membatasi hokum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hokum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini firman Allah: Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.(ali imran:188)
3.      Apabila lafal yang diturunkan itu lafal umum dan terdapat dalil atas pengkhususan, maka pengetahuan mengetahuai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan karena masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat’i(pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad bersifat zanni(dugaan). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya. Contoh yang demikian dalam firmanNya:Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).an-nur[24]:23-25
4.      Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Contohnya antara lain, 
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah[102]. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha Mengetahui. Asbabun nuzul

[102]. Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah.

[103]. Tuhan mengungkapkan dengan perkataan tidak ada dosa sebab sebahagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. Dan di masa jahiliyahpun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini.

[104]. Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa 'Urwah bertanya kepada 'Aisyah. "Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah SWT "Innas shafa wal marwata hingga akhir ayat (S. 2: 158). Menurut pendapatku tentang ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak thawaf di kedua tempat itu tidak berdosa." 'Aisyah menjawab: "Sebenarnya ta'wilmu (interpretasimu) itu hai anak saudariku, tidaklah benar. Akan tetapi ayat ini (S. 2: 158) turun mengenai Kaum Anshar. Mereka yang sebelum masuk Islam mengadakan upacara keagamaan kepada Manat (tuhan mereka) yang jahat, menolak berthawaf antara Shafa dan Marwah. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW: "Wahai Rasulullah, di zaman Jahiliyyah kami berkeberatan untuk thawaf di Shafa dan Marwah."
(Diriwayatkan oleh as-Syaikhani dan yang lainnya dari 'Urwah yang bersumber dari 'Aisyah.)

Dalam riwayat lainnya dikemukakan bahwa 'Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas tentang Shafa dan Marwah. Anas berkata: "Kami berpndapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di jaman Jahiliyyah, dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi." Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158) yang menegaskan hukum Sa'i dalam Islam
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari 'Ashim bin Sulaiman.)

Dalam riwayat lainnya dikemukakan bahwa Ibnu Abbas menerangkan bahwa syaitan-syaitan di jaman Jahiliyyah berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah. Dan di antara kedua tempat itu terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang, berkatalah kaum Muslimn kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasulullah kami tidak akan berthawaf antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu biasa kami lakukan di jaman Jahiliyyah." Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 158).
(Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

5.      Sebab Nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan dalam firman Allah:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar." Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka."(al-ahqaf :17)

D.    BEBERAPA RIWAYAT ASBABUN NUZUL
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.      Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
2.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai urusan ini” sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
3.      Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih.
4.      Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5.      Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu berdekatan.
6.      Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Pengertian Asbabun Nuzul.
Jadi asbab nuzul adalah sebab-sebab turun, alasan-alasan turun, motif atau latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an.
2.      Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Asbabun Nuzul.
a)      Bila tejadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat al quran mengenal peristiwa itu.
b)     Bila rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat quran menerangkan hukumnya.
3.      Urgensi Ilmu Asbabun Nuzul.
a)      Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hokum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
b)      Mengkhususkan atau membatasi hokum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hokum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
c)      Apabila lafal yang diturunkan itu lafal umum dan terdapat dalil atas pengkhususan, maka pengetahuan mengetahuai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan karena masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat’i(pasti). Maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui Ijtihad, karena Ijtihad bersifat Zanni.
d)     Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
e)      Sebab Nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.

4.      Riwayat Asbabun Nuzul.
a)      Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.
b)      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat ini turun mengenai urusan ini” sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
c)      Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih.
d)     Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
e)      Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab-sebab itu berdekatan.
f)       Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul.






DAFTAR PUSTAKA
Manna’,Khalil al-qattan.1973.Study Ilmu-Ilmu Qur’an.Bogor:Litera Antar Nusa

Hadits Shahih, Hasan dan Dla'if


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Agama islam adalah agama yang mampu mengakomodir segenap peran rasa dan rasio secara proporsional, terbukti dari beberapa pembahasan-pembahasan tentang ajaranya mampu melibatkan kedua anugerah agung ini, salah satu contoh mungkin dalam ilmu fiqh dan ushul, kolaborasi antara keimanan dan pemikiran menjadi landasan utama dalam menelorkan rumusan hukum-hukumnya, Semua paparan di atas tentunya tidak terlepas dari pengaruh dua pegangan suci umat islam, yaitu alqur’an dan hadits.
Pemahaman tentang panilaian terhadap status hadits menjadi sebuah hal yang sangat penting saat ini untuk menyehatkan kembali pembahasan-pembahasan tentang masalah keagamaan, sehinga peluang manipulasi agama bisa terdeteksi sejak awal. Berpijak dari konsep tersebut obyek kualitas mencakup keadaan rawi, sanad dan matannya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Shahih?
2.      Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Hasan?
3.      Bagaimana pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Dla’if?
4.      Bagaimana pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih dan ghaiy ma’mul bih?
C.    TUJUAN
1.      Mengetahu pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Shahih.
2.      Mengetahui pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Hasan.
3.      Mengetahui pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Dla’if.
4.      Mengetahui pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih dan ghaiy ma’mul bih.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits Shahih
1.      Pengertian
Ta’rif shahih menurut lughat adalah lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan bathil. Menurut Muhaditsin Hadits Shahih adalah:
“hadits yang dinulilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yanbg adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal”
Menurut ta’rif diatas, maka suatu hadits dinilai sahih apabila memenuhi syarat:
a)      Rawinya bersifat adil
Menurut al-razzi keadilan ialah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai wuru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air atau kencing di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebih-lebihan.
b)      Rawinya sempurna ingatan atau dhabit
Yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatnya, ingatnya lebih banyak daripada kesalahannya.
c)      Sanadnya bersambung, matannya marfu’
Musnad yaitu mutashilnya sanad dan marfu’nya matan. Dan yang dimaksud dengan mutashil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran, tiap-tap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari gueu yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya idhafah kepada Nabi SAW.
d)     Tanpa ilat
‘Illat hadis ialah suatu penyakit yang samara-samar yang dapat menodai keshahihan hadis, misalnya: meriwayatkan hadis secara mutashil terhadap hadits mursal atau hadits munqathi, atau berupa sisipan yang terdapat matan hadis.
e)      Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang mawbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[1]
2.      Pembagian Hadits Shahih
Hadits Shahih dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Shahih Lidzatihi, yaitu: Hadits yang melengkapi setinggi-tingginya sifat yang harus diterima.
Kedua: Shahih Lighairihi, yaitu: Hadits yang tidak penuh padanya setinggi tinggi sifat yang harus diterima.
Misalnya: ada hadis yang perawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, jika hadis ini dibantu dengan jalan lain yang menguatkannya, menjadilah dia shahih lighairihi.
3.      Status Kehujjahan
Menurut ijma’nya para ahli hadits dan para ushu liyin serta para fuqoha, hokum hadits shahih itu wajib diamalkan, karena hadis shahih itu adalah salah satu hujjah dari beberapa hujjah syara’, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.[2]
4.      Macam-macam Kitab
a)      Kitab Shahih AL-Bukhari, kuran lebih memuat 7.257 hadits dengan adanya pengalangan.
b)      Hadits shahih Muslim, memuat sekitar 12.000 hadits dengan pengulangan atau 4000 hadits tanpa diulang-ulang.
c)      Shahih ibnu Khuzaimah. Termasuk kitab yang derajatnya lebih tinggi karena ibnu Khuzaimah sangat hati-hati dalam mentashih hadits.
d)     Hadits Ibnu Hibban termasuk dalam golongan mustasahil dalam mentashhihkan suatu hadits.
e)      Mustadrak al-hakim. Yaitu kitab yang memuat hadits Shahih dengan syarat Bukhari Muslim atau salah satunya disampaikan pula hadits Shahih menurut al-hakim sendiri.[3]
B.     Hadits Hasan
1.      Pengertian
Hadits Hasan ialah hadis yang padanya telah terpenuhi syarat-syarat hadis shahih kesemuanya, hanya saja para perawinya semua atau sebagian para perawinya kurang dhabit dari pada perwi-perawi hadits shahih.[4]
2.      Pembagian Hadits Hasan
Pertama: Hasan Lidhatihi yaitu yang telah kita sebutkan di atas, dinamakan (hasan Lidhatihi) karena kehasanannya tumbuh dari terpenuhinya syarat-syarat yang khusus padanya, bukan hasil (natiyah) sesuatu yang ada diluarnya.
Kedua: Hasan Lighairihi ialah hadis yang didalam sanadnya perawi yang mastur yaitu tidak nyata keahliannya, hanya saja dia bukan pelupa yang banyak kekeliruannya dalam periwayatannya, dan juga tidak dituduh berbuat dusta dalam meriwayatkannya hadis serta tidak tertuduh dengan sebab-sebab lain yang menjadikan fasik, bahwa dia dibantu oleh perawi lain yang mu’tabar yang terdiri dari mutabi’ atau syahid.[5]
3.      Status Kehujjahan
Berhujah dengan hadits hasan dengan segala macamnya adalah seperti berhujjah dengan hadits Shahih, meskipun hadits hasan itu kekuatannya dibawah hadits shahih.
Oleh karena itu semua fuqoha berhujjah dengan hadits dan mau mengamalkannya. Demikian pula sebagian ulama memasukan hadits hasan itu kedalam golongan Hadits Shahih, diantara para ulama yang berpendapat seperti itu misalnya al-hakim, ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah serta menurut pengakuan mereka bahwasannya hadits hasan itu kekuatannya di bawah hadits shahih, dengan dalil mentarjihkan yang shahih atas yang hasan ketika terjadinya ta’arudh (pertentangan).[6]
4.      Kitab-kitab Hadits Hasan
a)      Sunan al-Tirmidziy
b)      Sunan Abi Daawud
c)      Sunan Ad-Daruquthniy[7]
C.    Hadits Dla’if
1.      Pengertian
Ta’rif hadits dha’if, menurut lughat adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Ta’rif menurut istilah muhaditsin:”Hadits yang tidak sampai pada derajat hasan” maksudnya hadits tersebut tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Dan bisa diartikan hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
2.      Pembagian Hadits Dla’if
Hadits dha’if bermacam-macam dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad atau matan.
a)      Dari segi Rawi, terdapat kecacatan para rawi, baik mengenai keadilannya maupun mengenai kedhabitannya;
·         Hadis Maudhu’ adalah hadits dhaif yang karena rawinya berdusta dalm membuat hadits walaupun hanya sekali dalam seumur hidup.
·         Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tertuduh bedusta.
·         Hadits Munkar adalah hadits yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah.
·         Hadits Mu’allal yaitu hadits yang setelah diadakn penelitian dan penyelidikan, tempat adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewahamkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu.
·         Hadits Mudraj yaitu hadits yang disadurkan dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
·         Hadits Syadz yaitu menyalahi riwayat orang yang lebih rajah.
·         Hadits mukhtalith yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitabnya.
b)      Dari segi Sanad
Suatu hadits menjadi dha’if karena sanadnya tidak bersambung-sambung, rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada sanad.
·         Hadits Mu’allaf adalah hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
·         Hadits mursal hadits yang gugur dari akhir sanadnya seseorang setelah tabi’in.
·         Hadits mu’dal yaitu hadits yang gugur rawinya dua atau lebih berturut-turut.
·         Hadits munqathi adalah gugur seorang rawi atau lebih tapi tidak berturut-turut.
c)      Dari segi Matan
Penisbatan matan tidak pada Nabi Muhammad SAW.
·         Penisbatan matan kepada sahabat, disebut mauquf.
·         Penisbatan matan kepada tabi’in, disebut maqthu’.[8]
3.      Status Kehujjahan Hadits Dla’if
Ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if, tiga hal pandapatnya yaitu:
a)      Tidak bisa diamalkan sama sekali baik dalam amalan fadlilah maupun dalam hokum syar’i. Pendapat ini di anut Abu Bakar.
b)      Bisa diamalkan secara mutlah. Pendapat ini dianut oleh abu dawud dan imam Ahmad.
c)      Bisa diamalkan jika hadits itu menerangkan Fadlilah amal.[9]
4.      Kitab-kitab
Sejauh ini tidak ada satupun kitab yang khusus membahas hadits Dla’if. Yang ada adalah kitab-kitab yang secara terpisah membahas sebagian jenis hadits dla’if, misalnya:karangan Abu Dawud, Karangan Ibn Abi Halim, Karangan Al-Khatib al Baghdadiy,Karangan al-Jauziy dll.
D.    Bagian Hadits Ahad dari Segi Maqbul dan Mardud
Pada bagian diatas sudah dijelaskan Hadits ada yang Shahih dan ada yang dla’if, kembalilah mereka membagi hadits Ahad itu mengingat shahih tidaknya, kepada 2 bagian besar, yaitu: maqbul dan mardud.
1.      Hadits Maqbul dan Bagian-bagiannya
Maqbul pada lughat, ialah: “ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”. Segala hadits maqbul itu, wajib diterims. Demikian pendapat jumhur ulama. Dan hadits maqbul itu trdiri dari: hadits shahih dan hadits hasan.
Kemudian dari pada itu, harus pula kita ketahui, bahwa hadits maqbul itu dibagi lagi kepada dua:
a)      Ma’mul bihi (yang diamalkan) dipergunakan untuk menegakan suatu hokum.
Hadits-hadits yang diamalkan, ialah:
·         Segala hadits Muhkam.
·         Segala Hadits Mukhatalif yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.
·         Segala hadits yang Nasikh.
·         Segala Hadits yang Rajih.
b)      Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hokum syara’. Ialah:
·         Hadits Mutawaqqaf fihi (Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tak dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian).
·         Hadits Marjuh (Hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
·         Hadits Mansukh (Hadits yang telah dihapuskan hukumnya).[10]
2.      Hadits Mardud
Ta’rif Hadits Mardud. Mardud pada lughat, ialah: “yang ditolak, yang tidak diterima”. Yaitu hadits Dla’if.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Shahih
hadits yang dinulilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yanbg adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal.
Hadits Shahih dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Shahih Lidzatihi, yaitu: Hadits yang melengkapi setinggi-tingginya sifat yang harus diterima.
Kedua: Shahih Lighairihi, yaitu: Hadits yang tidak penuh padanya setinggi tinggi sifat yang harus diterima.
Menurut ijma’nya para ahli hadits dan para ushu liyin serta para fuqoha, hokum hadits shahih itu wajib diamalkan, karena hadis shahih itu adalah salah satu hujjah dari beberapa hujjah syara’, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.
Kitab Shahih AL-Bukhari, kuran lebih memuat 7.257 hadits dengan adanya pengalangan. Hadits shahih Muslim, memuat sekitar 12.000 hadits dengan pengulangan atau 4000 hadits tanpa diulang-ulang. Shahih ibnu Khuzaimah. Termasuk kitab yang derajatnya lebih tinggi karena ibnu Khuzaimah sangat hati-hati dalam mentashih hadits. Hadits Ibnu Hibban termasuk dalam golongan mustasahil dalam mentashhihkan suatu hadits. Mustadrak al-hakim. Yaitu kitab yang memuat hadits Shahih dengan syarat Bukhari Muslim atau salah satunya disampaikan pula hadits Shahih menurut al-hakim sendiri
2.      Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Hasan
Hadits Hasan ialah hadis yang padanya telah terpenuhi syarat-syarat hadis shahih kesemuanya, hanya saja para perawinya semua atau sebagian para perawinya kurang dhabit dari pada perwi-perawi hadits shahih.[11]
Pembagian Hadits Hasan
Pertama: Hasan Lidhatihi yaitu yang telah kita sebutkan di atas, dinamakan (hasan Lidhatihi) karena kehasanannya tumbuh dari terpenuhinya syarat-syarat yang khusus padanya, bukan hasil (natiyah) sesuatu yang ada diluarnya.
Kedua: Hasan Lighairihi ialah hadis yang didalam sanadnya perawi yang mastur yaitu tidak nyata keahliannya, hanya saja dia bukan pelupa yang banyak kekeliruannya dalam periwayatannya, dan juga tidak dituduh berbuat dusta dalam meriwayatkannya hadis serta tidak tertuduh dengan sebab-sebab lain yang menjadikan fasik, bahwa dia dibantu oleh perawi lain yang mu’tabar yang terdiri dari mutabi’ atau syahid.[12]
Status Kehujjahan
Berhujah dengan hadits hasan dengan segala macamnya adalah seperti berhujjah dengan hadits Shahih, meskipun hadits hasan itu kekuatannya dibawah hadits shahih.
Oleh karena itu semua fuqoha berhujjah dengan hadits dan mau mengamalkannya. Demikian pula sebagian ulama memasukan hadits hasan itu kedalam golongan Hadits Shahih, diantara para ulama yang berpendapat seperti itu misalnya al-hakim, ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah serta menurut pengakuan mereka bahwasannya hadits hasan itu kekuatannya di bawah hadits shahih, dengan dalil mentarjihkan yang shahih atas yang hasan ketika terjadinya ta’arudh (pertentangan).[13]
Kitab-kitab Hadits Hasan
Sunan al-Tirmidziy,Sunan Abi Daawud dan Sunan Ad-Daruquthniy
3.      Pengertian, pembagian, status kehujjahan dan macam kitab dari hadits Dla’if
Ta’rif hadits dha’if, menurut lughat adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Ta’rif menurut istilah muhaditsin:”Hadits yang tidak sampai pada derajat hasan” maksudnya hadits tersebut tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Dan bisa diartikan hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
Pembagian Hadits Dla’if
Hadits dha’if bermacam-macam dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad atau matan.
4.      Status Kehujjahan Hadits Dla’if
Ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if, tiga hal pandapatnya yaitu:
·         Tidak bisa diamalkan sama sekali baik dalam amalan fadlilah maupun dalam hokum syar’i. Pendapat ini di anut Abu Bakar.
·         Bisa diamalkan secara mutlah. Pendapat ini dianut oleh abu dawud dan imam Ahmad.
·         Bisa diamalkan jika hadits itu menerangkan Fadlilah amal.[14]
Kitab-kitab
Sejauh ini tidak ada satupun kitab yang khusus membahas hadits Dla’if. Yang ada adalah kitab-kitab yang secara terpisah membahas sebagian jenis hadits dla’if, misalnya:karangan Abu Dawud, Karangan Ibn Abi Halim, Karangan Al-Khatib al Baghdadiy,Karangan al-Jauziy dll.
4.      Pembagian hadits kepada maqbul dan mardud atau ma’mul bih dan ghaiy ma’mul bih
Maqbul pada lughat, ialah: “ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”. Segala hadits maqbul itu, wajib diterims. Demikian pendapat jumhur ulama. Dan hadits maqbul itu trdiri dari: hadits shahih dan hadits hasan.
Kemudian dari pada itu, harus pula kita ketahui, bahwa hadits maqbul itu dibagi lagi kepada dua:
c)      Ma’mul bihi (yang diamalkan) dipergunakan untuk menegakan suatu hokum.
Hadits-hadits yang diamalkan, ialah:
·         Segala hadits Muhkam.
·         Segala Hadits Mukhatalif yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.
·         Segala hadits yang Nasikh.
·         Segala Hadits yang Rajih.
d)     Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hokum syara’. Ialah:
·         Hadits Mutawaqqaf fihi (Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tak dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang terkemudian).
·         Hadits Marjuh (Hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
·         Hadits Mansukh (Hadits yang telah dihapuskan hukumnya).[15]
Hadits Mardud
Ta’rif Hadits Mardud. Mardud pada lughat, ialah: “yang ditolak, yang tidak diterima”. Yaitu hadits Dla’if.


DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,M,Hasbi.1958.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan Bintang.
Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV Mimbar Pustaka.
Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.Tulungagung:STAIN Tulungagung.
Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.Tulungagung


[1] Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV Mimbar Pustaka,hlm.132-134
[2] Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.146
[3] Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.71
[4] Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.161-162
[5] Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.163
[6] Ibid.164
[7] Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.79
[8] Soetari,Endang,2005,Ilmu hadits,Bandung:CV Mimbar Pustaka,hlm.135-142
[9] Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.83
[10] Ash-Shiddieqy,M,Hasbi,1958,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan Bintang.hlm.107
[11] Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.161-162
[12] Shoim,Mohammad,2000,Ulumul Hadits.hlm.163
[13] Ibid.164
[14] Noorhayati, Salamah,2000,Diktat Ulumul Hadits.hlm.83
[15] Ash-Shiddieqy,M,Hasbi,1958,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits(1).Jakarta:Bulan Bintang.hlm.107