Selasa, 16 Juli 2013

Metode Audiolingual, Metode Komunikatif dan Metode Guru Diam pada pembelajaran Bahasa Arab MI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembelajaran adalah suatu sistem, artinya suatu keseluruhan yang terdiri darikomponen-komponen yang berintelerasi dan berinteraksi antara satu dengan yanglainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yangtelah ditetapkan sebelumnya. Proses pengajaran ditandai atau diketahui oleh adanyainteraksi antara komponen-komponen pengajaran.
Beberapa komponen pengajaranyang saling berkaitan tersebut, yaitu pengajar/guru, pelajar/siswa, metode pengajaran,media pengajaran, sarana dan prasarana.Begitu juga Surya berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah bahwa baik buruknya situasi proses belajar-mengajar dan tingkatan pencapaian hasil proses instruksional itu pada umumnya bergantung pada faktor-faktor yang meliputi:karakteristik siswa, karakteristik pengajar, interaksi dan metode, karakteristik kelompok fasilitas fisik, mata pelajaran, dan lingkungan alam sekitar.
Dengan tidak adanya atau tidak berfungsinya salah satu dari komponen tersebuttentu akan menghambat laju proses pembelajaran. Dengan demikian, metode pengajaran pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri keberadaannyadalam melakukan kegiatan pembelajaran
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Audiolingual pada pembelajaran Bahasa Arab MI?
2.      Bagaimana konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Komunikatif pada pembelajaran Bahasa Arab MI?
3.      Bagaimana konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Guru Diam (silent way) pada pembelajaran Bahasa Arab MI?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Audiolingual pada pembelajaran Bahasa Arab MI.
2.      Mengetahui konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Komunikatif pada pembelajaran Bahasa Arab MI.
3.      Mengetahui konsep dasar, langkah-langkah dan keunggulan serta kekurangan metode Guru Diam (silent way) pada pembelajaran Bahasa Arab MI.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Metode Audiolingual
Metode audiolingual (al-thariqah al-sam’iyyah al-syafawiyyah/ audiolingual method). Mula-mula muncul di Amerika Serikat (AS). Kelahirannya tidak lepas dari konteks sosial politik negara itu, yaitu jetika terjadinya pergolakan perang dunia 1.saat itu AS mengalami kekalahan dalam peperangan, maka untuk kepentingan penggalangan kekuatan baru ia sangat membutuhkan personalia yang lncar berbahasa asing (yang nantinya dapat ditempatkan dinegara-negara seperti Prancis, Belanda, Cina, dan negara-negara jajahannya) yang mampu bekerja sebagai penerjemah, asisten-asaisten dalam bidang penerjemah dokumen-dokumen, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang memerlukan komunikasi langsung dengan penduduk setempat.[1]
Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan suatu program yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa asing secara cepat. Sebagai tindak lanjutannya pemerintah AS menugaskan beberapa universitas untuk merencanakan program pengajaran bahasa asing untuk merencanakan program pengajaran bahasa asing untuk para personalia militer yang mempunyai kemampuan bahasa yang diperlikan. Maka didirikanlah badan yang dinamakan Army Specialized Training Program (ASTP) pada tahun 1942. Tujuan program ini adalah agar peserta memiliki keterampilan berbicara dalam beberapa bahasa asing.
Oleh karena tujuan ini bukan hal yang lazim di AS pada waktu itu, maka diperlikan pendekatan dan metode yang “Lain dari yang lain”, maka munculah metode yang dikenal dengan army method. Pada mulanya metode ini ditunjukkan untuk kalangan militer, tetapi selanjutnya digunakan juga untuk umum. Metode ini pada dasarnya mengintensifkan prinsip-prinsip pada direct method atau metode langsung yang dikembangkan oleh Carles Berlitz di Jerman menjelang abad ke-19. Metode ini mencoba menstimulasi cara pelajar belajar bahasa asing secara langsung dan intensif dalsm komunikasi. Pelajar bahasa asing dalam hal ini dibiasakan untuk berpikir dengan bahasa asing. Oleh karena itu penggunaan bahasa ibu dan bahasa kedua dielahkan sama sekali. Melihat adanya peningkatan kebutuhan akan penguasaan bahasa asing secara cepat, para pelajar bahasa asing memandang perlu adanya metode yang sipandang lebih berhasil guna. Maka pada tahun 1950-an muncullah metode audiolingual. Sejak itulah metode Audiolingual sangatlah populer digunakan dalam pengajaran bahasa asing.



1.      Konsep Dasar Metode Audiolingual
Ada dua pendekatan teori yang mendasari pengajaran bahasa, sebagaimana kita ketahui, yaitu teori tata bahasa tradisional dan struktural. Keduanya memiliki pandangan yang saling berbeda dalam hal tata bahasa. Teori tradisional meyakini adanya tata bahasa yang semesta, sedangkan teori struktural meyakini bahwa struktur bahasa di dunia tidak sama, menurut teori tradisional bahasa yang baik dan benar adalah menurut para ahli bahasa (dalam istilah linguistik disebut preskriptif), sedangkan menurut teori struktural yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh penutur asli (dalam istilah linguitik disebut deskriptif).[2]
Dengan demikian pendekatan struktural melihat struktur bahasa sebagai fokus perhatian. Struktur bahasa dalam hal ini dianggap sama dengan pola-pola kalimat. Pandangan ini bertolak belakang dengan pendekatan tradisional yang memandang sebaliknya.
Metode audiolingual adalah metode mendasarkan diri kepada pendekatan struktural dalam pengajaran bahasa. Sebagai implikasinya metode ini menekankan penelaahan dan pendeskripsian suatu bahasa yang akan dipelajari dengan memulainya dari sistem bunyi (fonologi), kemudian sistem pembentukan kata (morfologi), dan sistem pembentukan kalimat (sintaksis). Karena menyagkut struktur bahasa secara keseluruhan, maka dalam hal ini juga ditekankan system tekanan, nada, dan lain-lain. Maka bahasa tujuan diajarkan dengan mencurahkan perhatian pada lafal kata, dan pada latihan berkali-kali (drill) secara intensif. Bahkan drill inilah yang biasanya dijadikan teknik utama dalam proses belajar mengajar. Drill ialah suatu teknik pengajaran bahasa yang dipakai oleh semua guru bahasa pada suatu waktu untuk memaksa para pelajar mengulang dan mengucapkan suatu pola kalimat dengan baik tanpa kesalahan (1983:15-16). Mengadakan drill dengan konsisten akan melahirkan suatu kebiasaan yang baik dalam berbahasa. Menurut Hubbard (1983:15-16) drill ini berdasar langsung pada teori psikologi yang disebut behaviorisme. Menurut para behavioriskebiasaan terbentuk apabila suatu jawaban (response) pada rangsangan (stimulus) secara konsisten diberikan hadiah (reward) sebagai pengyatan (reinforcement). Tokoh terkenalnya adalah skinner yang sangat tertarik pada perilaku bahasa manusia. Hasil analisisnya menyatakan bahwa bunyi-bunyi ujar diucapkan dan diperkuat sama seperti perilaku nonverbal lainnya. Perilaku berbahasa manusia dibentuk oleh penguatan yang lazim dipakai dalam masyarakat. Urutannya menurutnya adalah : Rangsangan –Pespon-Penguatan atau Stimulus-Response-Reinforcement. Di dalam psikologi konsep ini disebut operamt-conditioning/al-isyrah al-ijra’i yaitu penguatan terhadap respon pelajar untuk mendapatkan respon baru sesuai rangsangan yang diberikan,dan diberikan dalam rangka pembiasaan yang baik. Menurutnya hadiah lebih efektif dari pada hukuman dalam situasi pengajaran kebiasaan. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa para pelajar bahasa tujuan harus diatur sedemikian rupa sehinnga mereka mempunyai peluang banyak untuk memberi respon yang benar. Jadi suatu program pengajaran bahasa kedua atau asing harus disajikan sedemikian rupa sehingga merupakan serentetan langkah yang tidak boleh terlalu sukar bagi para pelajar.
Pandangan ini menjadi dasar yang kuat bagi metode audiolingual dalam pengajaran bahasa. Selanjutnya melahirkan dasar pikiran tertentu yang membedakannya dengan yang lainnya. Al-Naqah (2010) dan Badri (1986 : 16-22) mengatakan dasar itu adalah bahwa bahasa adalah ujaran, bukan tulisan: bahasa terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan;yang harus dipelajari adalah bahasa, bukan tentang bahasa; bahasa bukan untuk dibicarakan, tetapi harus digunakan; semua bahasa di dunia memiliki perbedaan. Selain itu Al-Khuli (1982: 23-24) menambahkan dasar lain dengan adanya urutan keterampilan berbahasa yang harus diajarkan yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Konsep ini mengandung arti bahwa:
a.       Dasar bahasa adalah percakapan, sedangkan tulisan adalah bagian dari percakapan. Maka materi yang perlu diprioritaskan dalam pengajaran bahasa asing atau bahasa tujuanadalah memahami pembicaraan dan berbicara, setelah itu baru aspek lain, yaitumembaca dan menulis. Hal ini sejalan dengan aktivitas seorang anak dalam mempelajari bahasa ibu, yaitu mendengarkan dahulu, kemudian berbicara sebelum dilanjutkan kepada aktivitas belajar bahasa sebagai bacaan dan tulisan;
b.      Cara yang tepat untuk mengajarkan bahasa asing atau bahasa tujuan adalah membentuk kebiasaan berbahasa. Para ahli metode memandang bahwa kebiasaan ini sama halnya seperti seorang anak dalam memperoleh kebiasaan-kebiasaan sosial budaya di masyarakatnya. Oleh sebab itu diperlukan adanya usaha-usaha untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, yaitu dengan memberikan stimulus secara berulang untuk mendapatkan respon yang berulang kemudian diberikan penguatan sebagaimana dijelaskan diatas;
c.       Materi yang harus dipelajari adalah bahasa asing atau bahasa tujuan itu,bukan materi mengenai bahasa. Artinya metode ini memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan metode kaidah  dan terjemah, yaitu tidak memperhatikan aspek kaidah bahasa maupun terjemahan, kecuali jika sangat terpaksa. Sebagai gantinya pelajar dituntuk untuk berlatih sacara intensif dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian bahasa adalah untuk digunakan, bukan untuk dibicarakan;
d.      Para ahli bahasa struktural menolak adanya pikiran tata bahasasemesta yang memandang adanya kaidah-kaidah bahasa secara keseluruhan. Akan tetapi sebaliknya mereka memandang bahwa setiap bahasa di dunia memiliki kaidah masing-masing yang berbeda dengan yang lainnya. Para ahli metode ini memandang bahwa problematika terbesar dalam pengajaran bahasa adalah adanya perbedaan antara bahasa tujuan sebagai bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu dan aspek suara, struktur, makna. Oleh sebab itu untuk memperoleh penguasaan yang baik adalah pembiasaan secara konsisten dengan jalan latihan.
Namun demikian setelah mencapai ketenarannya tahun 1951-an dan 1960-an (Nababan, 1993:35), metode ini mendapat kritikan dari para pelajar dan ahli linguistik. Kritikan terutama ditunjukankepada konsep dasar tersebut sebagaimana digambarkan olrh Al-Khuli (1982:24-25) bahwa :
a.       Percakapan bukan satu-satunya aspek kecakapan yang utama, sebab aspek lain juga penting sebagai unsur keterampilan secara utuh;
b.      Urutan keterampilan bukan hal yang mestu dilakukan, sebab bisa saja keterampilan-keterampilan itu diajarkan dalam waktu yang bersamaan;
c.       Menggunakan kaidah bahasa dan tarjamah bukan suatu yang dilarang. Sebab antara kaidah dengan bahasa sangat erat kaitannya, maka justru akan membantu pelajar dalam menguasai kecakapan berbahasa;
d.      Todak benar bahwa mempelajari bahasa ibu sama dengan mempelajari bahasa asing, sebab secara psikologis belajar bahasa ibu sangat berkaitan dengan unsur-unsur emosional anak terhadap orang tua dan keluarganya, sehingga penggunaanya, merupakan kebutuhan untuk mengekspresikan kebutuhan dasar,emosi dan pikirannya. Sedangakan mempelajari bahasa asing tidak demikian;
e.       Benar bahwa bahasa-bahasa di dunia memiliki unsur-unsur yang berbeda, tetapi benar juga bahwa bahasa-bahasa itu memiliki unsur-unsur yang saling menyerupai. Oleh sebab itu sangat penting mengetahui asapek persamaan dan perbedaan antara bahasa asing dengan bahasa ibu dalam pengajaran bahasa asing.



2.      Langkah-Langkah Menggunakan Metode Audiolingual
Sebagaimana metode ini , yaitu mendengarkan dan berbicara, maka amplikasinya lebih menekannka dua aspek ini sebelum kepada dua aspek lainnya. Jika melihat konsep dasarnya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam aplikasinya yaitu:[3]
a.       Pelajar harus menyimak, kemudian berbicara, lalu membaca, dan akhirnya menulis;
b.      Tata bahasa harrus disajikan dalam bentuk pola-pola kalimat atau dialog-dialog dengan topik-topik situasi-siyuasi sehari-hari;
c.       Latihan (drill/al-tadribat) harus mengikuti operant-conditioning seperti yang telah dijelaskan. Dalam hal ini hadiah baik diberikan ;
d.      Semua unsur tata bahasa harus disajikan dari yang mudah kepada yang sukar atau bertahap (graded exercise/tadarruj/al-tadrib);
e.       Kemungkinan-kemungkinan untuk membuat kesalahan dalam memberi respon harus dihindarkan, sebab penguatan positif dianngap lebih efektif dari pada penguatan negatif.
Terlihat bahwa metode audiolingual pada dasarnya tidak hanya menekankan latihan dan pembiasaan para pelajar untuk membentuk kecakapan berbahasa, tetapi juga kecermatan pengajar dalam membimbing mereka sangat diperlihatkan. Oleh sebab itu seorang pengajar harus benar-benar menguasai prinsip-prinsip itu.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, diperlukan langkah-langkah yang dianngap cocok. Misalnya saja langkah yang dipilih adalah sebagai berikut:
a.       Pendahuluan, memuat berbagai hal yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan baik berupa apersepsi, atau tes awal tentang materi, atau yang lainnya.
b.      Penyajian dialog/ bacaan pendek yang dibacakan oleh guru berulang kali, sedangkan pelajar menyimaknya tanpa melihat pada teksnya.
c.       Peniruan dan penghapalan dialog/bacaan pendek dengan teknik meniru setiap kalimat secara serentak dan menghapalkannya. Di dalam pengajaran bahasa. Teknik ini dikenal dengan teknik “peniruan-penghapalan” (mimicry-memorization technique/ uslub al-muhakah wal-hifzh).
d.      Penyajian pola-pola kalimat yang terdapat dalam dialog/bacaan yang dianggap sulit karena terdapat struktur atau ungkapan-ungkapan yang sulit. Hal ini bisa dikembangkan denagan drill dengan teknik ini dilatih struktur dan kosa kata. Contoh sebagai berikut:
Drill yang mengganti satu unsur (al-tdrib al-namthi)
Guru    : S1اناثلميذ                                                                                  
Pelajar : R1 اناثلميذ                                                                                  
Guru    : (member penguatan dan rangsangan baru): S2
                                                                                    صحيح ,... نحن ....!
Pelajar : R2                              نحن تلا ميذ                                               
Dan seterusnya
Drill Tanya jawab (tadrib al-su’al wa al-jawab):
Guru    : S1يكتب احمدالدرس في الفصل                                                         
Guru    : S2ماذايعمل احمد؟                                                                         
Pelajar : R2يكتب الدرس                                                                            
Guru    : (member penguatan dan rangsangan baru): S2
صحيح , ... واين وكتب احمد؟                                                                         
Pelajar : R2في الفصل                                                                               
Dan seterusnya.
Drill menyatukan kalimat (tadrib tamzij al-hamal):
Guru    : S1
ابراهيم لايذهب الي المدرسة  "هومريد" ...(لان)                                                    
Pelajar : R1
ابراهيم لايذهب الي المدرسة لانه مريض                                                             
Guru    : S2
"ابراهيم مريض", "ابرهيم يقرا الكتا ب في بيته"...(لكن)                                         
Pelajar : R2
ابراهيم مريض, لكنه يقرا الكتاب في بيته                                                             
Dan lain-lain.
Keterangan : S = Stimulus; R = Respon.
e.       Dramatisasi dari dialog/bacaan yang sudah dilatihkan diatas. Pelajar yang sudah hapal disuruh mempergunakaanya di muka kelas;
f.       Pembentukan kalimat-kalimat lain yang sesuai dengan pola-pola kalimat yang sudah dilatihkan;
g.      Penutupan (jika diperlukan) misalnya dengan memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Dalam hal ini pelajar disuruh berlatih kembali dalam menggunakan pola-pola yang sudah dipelajarinya di sekolah.
3.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Audiolingual
Sebagaimana metode langsung, metode audiolingual memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan karakteristik metode ini, kita bisa melihat beberapa aspek kelebihan dan kekurangannya:[4]
      Aspek kelebihannya antara lain:
a.       Para pelajar menjadi terampil dalam membuat pola-pola, kalimat yang sudah di-drill;
b.      Para pelajar mempunyai lafal yang baik atau benar;
c.       Para pelajar tidak tinggal diam dalam dialog tetapi harus terus menerus memberi respon pada rangsangan yang diberikan oleh guru;
Aspek kelemahannya antara lain:
a.       Para pelajar cenderung untuk memberi respon secara serentak (atau secara individual) seperti “membeo”, dan sering tidak mengetahui makna yang diucapkan, respon ini terlalu mekanistis;
b.      Para pelajar tidak diberi latihan dari makna-makna lain dari kalimat yang dilatih berdasarkan konteks. Sebagai akibatnya mereka hanya menguasai satu maka atau arti dari suatu kalimat, dan komunikasi hanya dapat lancar apabila kalimat-kalimat yang digunakan diambil dari kalimat-kalimat yang sudah dilatihkan di kelas bahkan pengajaran struktur kalimat lebih menekannkan aspek reseptif;
c.       Sebetulnya para pelajar tidak berperan aktif tetapi hanya memberikan respon pada trangsangan yang diberikan oleh guru. Jadi gurulah yang menentukan semua latihan dan materi pelajaran di kelas. Dialah yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan di kelas. Dengan kata lain penguasaan kegiatan dalam kelas dapat disebut “dikuasai sepenuhnya oleh guru”;
d.      Metode ini berpendirian bahwa jika tahap-tahap awal para pelajar tidak/belum mengerti makna dari kalimat-kalimat yang ditirunya, tidak dianggap sebagai hal yang meresahkan. Selanjutnya dengan menyimak apa yang dikatakan oleh guru, memberi respon yang benar, dan melakukan semua tugas tanpa salah, pelajar sudah dianggap belajar bahasa tujuan dengan benar. Jika dianalisa pendirian ini kurang dapat diterima, sebab meniru tanpa mengetahui makna adalah suatu aktivitas yang mubadzir. Kecuali itu, hapalan pola-pola kalimat dengan ucapan yang baik dan benar belum berarti bahwa para pelajar dengan sendirinya akan mampu berkomunikasi dengan wajar. Oleh sebab itu diperlikan bimbingan yang intensif dalam mencapai kemampuan komunikasi ini.
B.     Metode Komunikatif
Metode ini mulai berkembang bersamaan dengan terjadinya beberapa perubahan pada tradisi pengajaranbahasa yang terjadi di Inggris pada tahun 1960-an yang bersamaan dengan ditolaknya pendekatan audilingual di Amerika. Para praktisi merasa tidak puas karena para pelajar, setelah belajar beberapa tahun, tetap belum lancar berkomunikasi dalam bahasa target. Sedangkan para ahli linguistik mengecam dari sisi landasan teoritisnya.
Kelahiran metode komunikatif merupakan hasil dari sejumlah kajian tentang pemerolehan bahasa (iktisab al-lughah/language acquisition) dan berbagai penelitian mengenai metode pengajaran bahasa di Eropa dan Amerika. Meskipun terdapat beberapa variasi dalam penerapannya, Metode Komunikatif tetap mempertahankan karakteristik dasarnya yaitu apa yang dikenal dengan kesenjangan informasi (fajwah ma’lumat/information gap), pilihan (ikhtiyar/choice) dan umpan balik (tagziyah raji’ah/feed back), dan materi otentik (min mashadir asliyah/authentic material).
a.       Kesenjangan informasi
Kesenjangan informasi terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih saling bertukar informasi, dimana orang yang mengetahui sesuatu memberikan informasi kepada orang yang tidak mengetahuinya. Hal ini sejalan dengan tujuan komunikasi yaitu menjembatani kesenjangan informsi di antara siswa.
b.      Pilihan
Dalam berkomunikasi seorang pembicara mempunyai kebebasan untuk memilih ungkapan yang akan digunakan dan kebebasan untuk memilih cara bagaimana mengatakan sesuai dengan konteks kapan dan dimana ungkapan itu digunakan.
c.       Umpan Balik
Suatu komunikasi memiliki tujuan sehingga seorang pembicara  bisa menilai apakah tujuannya itu tercapai atau tidakberdasarkan informasi yang diterima dari lawan bicara. Kalau lawan bicara tidak memberikan respon balik terhadap apa yang kita katakan maka situasi seperti itu dianggap tidak komunikatif.
d.      Bahan ajar otentik
Penggunaan bahan ajar otentik dianggap penting untuk memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan strategi untuk  menggunakan dan memahami bahasa dalam situasi atau kontiks yang sesuai. Bahan ajar otentik yang dimaksudkan disini adalah penggunan bahan ajar yang diambil dari sumber-sumber yang bukan ditujukan khusus bagi pengajaran bahasa.[5]
1.      Konsep Dasar Metode Komunikatif
Metode komuikatif adalah sebuah metode yang lebih mengandalkan kreativitas para palajar dalam melakukan latihan. Pada tahap ini keterklibatan guru secara langsung mulai dikurangi untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk mngembangkan kemampuan sendiri. Para pelajar pada tahap ini ditekankan untuk lebih banyak berbicara dari pada guru. Secara pikologis setiap kelas mmiliki keendrungan, pandangan dan kemampuan kolektif yang tidak sama, oleh bab itu guru harus pandi memanfaatkan kondisi ini agar setiap embelajaran yang dilakukan setidaknya memberikan kegairahan kepada mereka.[6]
2.      Langkah-Langkah Metode Komunikatif
Dalam pengajaran yang menggunakan metode komunikatif, teknik yang paling banyak di gunakan adalah penggunaan bahan ajar otentik (min mashadir asliyyah/authentic material), permainan bahasa (al’ab lugawiyah/language games), rangkaian gambar cerita (silsilah qishah mushawwarah/picture strip story) dan bermain peran (tamsil daur/role play), penyelesaian masalah (hal musykilat/problem solving).
Berikut ini akan di sajikan contoh prosedur pengajaran bahasa asing yang menggunakan Metode Komunikatif (disadur dari Finocchiaro dan Brumfit 1983: 107-8).
1)      Pembelajaran diawali dengan penyajian suatu dialog singkat atau beberapa dialog mini, didahului oleh sustu motifasi (yang berkaitan dengan situasi-situasi dialog terhadap pengalaman-pengalaman masyarakat yang mungkin diperoleh para pembelajar )dan sustu diskusi mengenai fungsi dan situasi orang, peranan, latar, topik, dan keinformalan atau keformalan bahasa yang menuntut fungsi dan situasi tersebut.
2)      Kemudian dilanjutkan dengan praktik lisan (pengulangan) setiap ucapan bagian dialog yang di sajikan pada hari itu (seluruh kelas, setengah kelas, kelompok, individual) dan pada umumnya di dahului oleh model.
3)      Selanjutnya pembelajaran di kembangkan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tetap berdasarkan topik-topik dialog dan sitiasi itu sendiri.
4)      Setelah itu guru dan murid menelaah dan mengkaji salah satu ekspresi komunikatif dasar dalam dialog itu atau salah satu struktur yang menunjukkan fungsi tersebut.
5)      Kegiatan-kegiatan produksi lisan bergerak maju dari kegiatan terpimpin menuju kegiatan komunikasi yang lebih bebas.
6)      Setelah kegiatan latihan lisan, siswa menyalin dialog-dialog, atau dialog-dialog mini atau modul-modul kalau tidak terdapat atau tertera dalam teks kelas.
7)      Sebelum pembelajaran akan segera berakhir, guru memberi contoh tugas pekerjaan rumah secara tertulis, kalau diperlukan.
8)      Akhirnya, dilakukan evaluasi pembelajaran (hanya lisan), misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.[7]
3.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Komunikatif
a.       Keunggulan
Keunggulan metode ini terletak pada ciri komunikatifnya itu sendiri. Pendekatan ini menekankan komunikasi sehingga kelancaran siswa dalam menggunakan bahasa akan cepat tercapai. Kegiatan dalam kelas tidak berpusat pada guru melainkan berpusat pada siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam berbagai bentuk kegiatan dalam penyelesaian masalah yang dilakukan secara berpasangan, bertiga atau dalam kelompok-kelompok kecil. Selain itu siswa akan termotivasi untuk belajar bahasa asing karena mereka melakukan sesuatu yang bermakna dengan kegiatan bahasa ini. Kenyamanan di dalam kelas juga tercipta dengan baik karena mereka mendapat kesempatan yang banyak dalam berinteraksi dengan teman-temanya ataupun dengan gurunya.
b.      Kelemahan
Sedangkan kelemahan metode ini terletak pada penilaianya. Setiap kesempatan siswa dilibatkan dalam kegiatan yang menekankan “kelancaran” sementara penilaianya kebanyakan berfokus pada “ketelitian”. Contoh kelemahan metode ini dapat kita lihat dalam tes akhir yang umumnya tidak memberi penilaian pada kemampuan komunikasi siswa secara langsung, melainkan memberikan penilaian pada penggunaan kosa kata dan tata bahasa siswa. Selain kelemahan dalam sistem penilaianya, metode ini juga memiliki kelemahan  dalam penyediaan Authentic material. Authentic materialyang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa sulit di temukan, terutama bahan untuk istima’. Kelemahan lainya dapat di lihat pada kesalahan tata bahasa yang lebih banyak terjadi pada saat siswa berbicara karena guru kurang memberikan feedback terhadap kesalahan siswa sehingga cenderung menjadi kesalahan yang sulit untuk di perbaiki lagi.
C.    Metode Guru Diam (silent way)
Metode Cara Diam atau The Silent Way yang diperkenalkan oleh Gattegno ini dalam orientasinya dapat diklasifikasikan sebagai kognitivis. Dalam pandangan Gattegno, pikiran merupakan agen, wali, atau perantara aktif yang mampu membangun kriteria intinya sendiri buat belajar. Ketiga kata kunci filisofi yang berada di belakang pendekatan ini adalah kebebasan (independence), otonomi (autonomy), dan pertanggungjawaban (responsibility). Metode Cara Diam beranggapan bahwa para pelajar bekerja dengan sumber-sumber dalam diri mereka (yaitu struktur kognitif yang ada, pengalaman, perasaan, pengetahuan mengenai dunia, dsb) (Tarigan, 1986:257).
1.      Konsep Dasar Metode Guru Diam
Silent way ( metode guru diam/ al thariqah al- shamitah ) dicetuskan oleh Caleb Gategno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa yang menerapkan prinsip-prinsip kognitivisme dan ilmu filsafat dalam pengajaranya. Ide dasar untuk memunculkan metode ini antara lain:
a.       Diri (the self) seseorang sama dengan tenaga yang berkerja dalam tubuhnya melalui pancaindra, dan tujuan untuk mengatur masukan-masukan dari luar.
b.      Diri seseorang itu mulai bekerja pada waktu manusia diciptakan dalam kandungan.[8]
Selanjutnya ia melihat bahwa belajar pada hakikatnya melibatkan dua langkah :
a.       Belajar adalah pekerjaan yang sengaja dilakukan dengan sadar dan diperintah oleh kemauan yang keras (will). Hal ini diatur oleh otak yang menghasilkan aktivitas mental.
b.      Belajar adalah proses mengasimilasikan hasil-hasil aktivitas mental melalui pembentukan gambaran batin (images) yang baru atau perubahan gambaran batin yang lama.[9]
Dr.Gattegno mulai memperkenalkan metode ini lewat bukunya “ Teaching Foreign Languages In School: A Silent Way.” Metode ini dianggap bukan hanya guru yang diminta diam 90% dari alokasi waktu yang dipakai tetapi ada juga saat-saat tertentu di mana murid juga diam tidak membaca, tidak menghayal, tidak menonton video, tetapi mereka konsentrasi pada bahasa asing yang baru saja didengar. Prinsip  yang dipegang adalah adanya respek terhadap kemampuan murid untuk mengerjakan masalah-masalah bahasa serta kemapuan untuk mengingat informasi tanpa adanya bantuan minimalpun dari guru. Siswa dibiarkan dahulu bersalah dalam berbahasa.[10] Menurut madsen(1979:35), “ The Silent Way ” telah pernah dipakai mengajarkan bahasa Arab, Portugis, Kanton, Mandarin, Cina, Inggris, Parsi, Jerman, Hindi, Hungaria, Itali, Jepang, Rusia, dan Spanyol. Stevick ( 1982:201 ) menyatakan ada tiga inti dari The Silent Way :
1.      Watch ( perhatian )
2.      Give only what is needed ( beri / ajarkan apa yang dibutuhkan saja )
3.      Wait! ( tunggu ).[11]
Materi yang digunakan dalam metode guru diam ini berdasarkan struktur bahasa. Bahasa dipandang sebagai kelompok-kelompok bunyi yang dihubungkan dengan makna-makna tertentu, dan diatur menjadi kalimat-kalimat melalui aturan-aturan bahasa. Pelajaran disajikan secara bertahap dari unsur-unsur yang mudah ke yang sukar. Sedangkan materi kosa kata dan struktur kalimat disajikan sedikit demi sedikit sehingga menjadi unit-unit yang kecil.
Metode guru diam memiliki tujuan pokok sebagai berikut:
a.       Melatih ketrampilan para pelajar dalam menggunakan bahasa asing yang dipelajari secara lisan.
b.      Melatih ketrampilan para pelajar dalam menyimak pembicaraan lawan bicara.
c.       Melatih pelajar agar mampu menguasai tata bahasa yang praktis.[12]
2.      Langkah-langkah Metode Guru Diam
a.       Pendahuluan. Guru menyediakan alat peraga berupa: (a) papan peraga yang bertuliskan materi (fidel chart). Papan ini berisi ejaan dari semua suku kata dalam bahasa asing yang dipelajari. Ejaan yang berlafal sama diberi warna yang sama.; (b) tongkat/balok kayu (Cuisenaire rods). Tongkat ini nantinya akan digunakan sebagai alat peraga dalam membentuk kalimat lengkap.
b.      Guru menyajikan satu butir bahasa yang dipahami. Penyajiannya satu kali saja. Dengan demikian ia memaksa para pelajar untuk menyimak dengan baik.
c.       Sesudah pelajar mampu mengucapkan bunyi-bunyi dalam bahasa asing yang dipelajari, guru menyajikan papan peraga yang kedua yang barisi kosa kata terpilih.
d.      Guru menggunakan tongkat  yang telah disediakan untuk memancing para pelajar berbicara dengan bahsa asing yang sedang dipelajari. Pada saat tu guru mengangkat tongkat dan berkata, misalnya :
هذااڶعصاأحمر
Setelah itu guru menggangkat tongkat lain, misalnya :
هذاالعصاأزرق
Setelah itu guru meminta salah satu pelajar untuk maju ke depan dan menunjuk balok lain, misalnya :
خذالعصاالاخضر
Lalu pelajar itu mengatakan
هذااعصاأخضر
Setelah itu pelajar tersebut diminta untuk melakukan dan mengatakan hal yang sama kepada temannya yang lain, dan seterusnya.
e.       Sebagai penutup, guru bisa  mengadakan pengetesan kenerhasilan pelajar penguasaan kosa kata yang telah diajarkan.[13]
3.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Guru Diam
Sebagaimana metode-metode lain, silent way juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di antara kelebihannya adalah:
a.       Tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas dalam metode ini bertugas untuk mendorong serta membentuk respon pelajar. Maka dalam hal ini kelas menjadi aktif.
b.      Respon pelajar dipancing tanpa instruksi lisan dari guru dan tanpa pemberian contoh yang berulang. Oleh karena model kalimat diberikan hanya satu kali, pelajar yang tidak menyimak akan terdorong untuk menyimak model kalimat seterusnya. Selain mendidik untuk selalu berkonsentrasi terhadap materi pelajaran, juga para pelajar dituntut untuk selalu berusaha sendiri dalam belajar.
c.       Karena tidak ada pembetulan-pembetulan kalau ada kesalahan yang dilakukan oleh pelajar, dan tidak ada keterangan-keterangan, maka pelajar didorong untuk membuat analogi-analogi sendiri dengan cara mengadakan kesimpulan dan rumusan aturan-aturan sendiri. Ini melatih mereka dalam membuat kesimpulankesimpulan dan keputusan secara cepat.

Di antara kekurangannya adalah:
a.       Pada konsep dasarnya, silent way memberikan kebebasan kepada pelajar untuk menentukan pilihan-pilihan dalam situasi-situasi yang disajikan termasuk dalam membuat konstruksi kalimat. Cara ini memberikan kesan bahwa para pelajar dapat menguasai situasi belajar. Namun dalam kenyataanya, gurulah yang menguasai materi dan jalan pengajarannya di dalam kelas. Dengan demikian sebenarnya proses belajar mengajar masih teacher-centered (berpusat pada guru).
b.      Jika ditelaah secara seksama, silent way digunakan untuk pelajar tingkat pemula yang  hanya diberikan materi-materi pelafalan suku kata, kosa kata, dan membuat konstruksi kalimat-kalimat sederhanaannya. Sedangkan membaca dan mengarang nampaknya akan sulit diajarkan dengan metode ini.
c.       Sebagaimana dijelaskan dalam konsep dasarnya, silent way bertujuan membimbing para pelajar agar mencapai kelancaran berbahasa yang hampir sama dengan penutur asli, maka mereka dituntut untuk menguasai lafal yang benar, intonasi, irama, dan jeda dalam berbicara dengan bahasa asing yang dipelajari. Proses belajar mengajar yang digariskan oleh metode ini nampaknya tidak memberi jaminan untuk mencapai tujuan tersebut.
d.      Pada dasarnya silent way pada akhirnya cenderung memiliki banyak kesamaan dengan audiolingual, sebab sebagaimana pun para pelajar diberi materi pelajaran satu kali akan sangat membutuhkan pengulangan, apalagi mereka yang baru mengenal bahasa asing yang sedang dipelajari.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Metode Audiolingual
     Metode audiolingual adalah metode mendasarkan diri kepada pendekatan struktural dalam pengajaran bahasa. Sebagai implikasinya metode ini menekankan penelaahan dan pendeskripsian suatu bahasa yang akan dipelajari dengan memulainya dari sistem bunyi (fonologi), kemudian sistem pembentukan kata (morfologi), dan sistem pembentukan kalimat (sintaksis)
Jika melihat konsep dasarnya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam aplikasinya yaitu:[14]
a.       Pelajar harus menyimak, kemudian berbicara, lalu membaca, dan akhirnya menulis;
b.      Tata bahasa harrus disajikan dalam bentuk pola-pola kalimat atau dialog-dialog dengan topik-topik situasi-siyuasi sehari-hari;
c.       Latihan (drill/al-tadribat) harus mengikuti operant-conditioning seperti yang telah dijelaskan. Dalam hal ini hadiah baik diberikan ;
d.      Semua unsur tata bahasa harus disajikan dari yang mudah kepada yang sukar atau bertahap (graded exercise/tadarruj/al-tadrib);
e.       Kemungkinan-kemungkinan untuk membuat kesalahan dalam memberi respon harus dihindarkan, sebab penguatan positif dianngap lebih efektif dari pada penguatan negatif.
2.      Metode Komunikatif
      Metode komuikatif adalah sebuah metode yang lebih mengandalkan kreativitas para palajar dalam melakukan latihan. Pada tahap ini keterklibatan guru secara langsung mulai dikurangi untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk mngembangkan kemampuan sendiri. Para pelajar pada tahap ini ditekankan untuk lebih banyak berbicara dari pada guru. Secara pikologis setiap kelas mmiliki keendrungan, pandangan dan kemampuan kolektif yang tidak sama, oleh bab itu guru harus pandi memanfaatkan kondisi ini agar setiap embelajaran yang dilakukan setidaknya memberikan kegairahan kepada mereka.
Dalam pengajaran yang menggunakan metode komunikatif, teknik yang paling banyak di gunakan adalah penggunaan bahan ajar otentik (min mashadir asliyyah/authentic material), permainan bahasa (al’ab lugawiyah/language games), rangkaian gambar cerita (silsilah qishah mushawwarah/picture strip story) dan bermain peran (tamsil daur/role play), penyelesaian masalah (hal musykilat/problem solving).
3.      Metode Guru Diam
      Dr.Gattegno mulai memperkenalkan metode ini lewat bukunya “ Teaching Foreign Languages In School: A Silent Way.” Metode ini dianggap bukan hanya guru yang diminta diam 90% dari alokasi waktu yang dipakai tetapi ada juga saat-saat tertentu di mana murid juga diam tidak membaca, tidak menghayal, tidak menonton video, tetapi mereka konsentrasi pada bahasa asing yang baru saja didengar. Prinsip  yang dipegang adalah adanya respek terhadap kemampuan murid untuk mengerjakan masalah-masalah bahasa serta kemapuan untuk mengingat informasi tanpa adanya bantuan minimalpun dari guru.
B.     Kritik dan Saran
            Dalam pembuatan makalah diatas, mungkin masih terdapat banyak kesalahan atau kekurangan. Karena keterbatasan kemampuan kami oleh karena itu, kami mohon kepada teman-teman dan khususnya Ibu pengampuh dalam bidang ini untuk membimbing kami dalam membuat makalah yang lebih sempurna.



DAFTAR PUSTAKA

Acep  Hermawan, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Pembelajaran Bahasa Arab.hal[1] Prof. Dr. Azhar Arsyad, 2010, Bahasa Arab Dan Metode Pengajarannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1] Acep, Hermawan.2011. Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.hal 184-185
[2] Ibid hal 185-188
[3] Ibid. Hal 188-190
[4] Ibid. Hal 191-192
[5] Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Pembelajaran Bahasa Arab. Hal. 99-100
[7] Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Pembelajaran Bahasa Arab.hal.103-104
[8] Acep  Hermawan, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm 201
[9] Ibid, hlm 202
[10] Prof. Dr. Azhar Arsyad, 2010, Bahasa Arab Dan Metode Pengajarannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 28
[11] Ibid, hlm 29
[12] Acep  Hermawan, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm 203
[13] Ibid, hlm 203-204
[14] Ibid. Hal 188-190